Hasil Sembiring and Anischan
Gani
Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi
Pesan Kunci
•
Masalah salinitas meningkat di Indonesia, khusus di NAD pasca tsunami endapan
lumpur tsunami menjadikan masalah makin komplek
•
Usaha-usaha fisik dan kimia bukan hal yang mudah untuk meningkatkan
produktivitas lahan pasca tsunami
•
Dalam waktu dekat ini, penggunaan varietas toleran paling dianjurkan untuk
mengembalikan produktivitas lahan dan tanaman pasca tsunami
Pendahuluan
Pada kenyataannya, salinitas tanah
telah menjadi suatu masalah serius dalam produksi tanaman di Indonesia. Daerah
produksi padi yang terletak di dekat pinggir laut seperti di pulau Jawa,
Sulawesi Selatan dan yang lainnya menghadapi masalah salinitas; banyak petani
merubah lahan padi sawahnya menjadi lahan untuk membuat garam dan perikanan,
atau meninggalkannya. Sayangnya, kita tidak cukup awas terhadap masalah yang
menakutkan ini. Gempa bumi yang diikuti oleh tsunami serta tsunami yang terjadi
di tempat lainnya di Indonesia mengingatkan kita bahwa salinitas telah
merupakan masalah nasional yang harus ditangani, terutama sekali untuk
mempertahankan atau meningkatkan produksi padi di daerah-daerah yang
bersangkutan.
Perubahan kultivar padi secara transgenik
telah berhasil membentuk kultivar padi yang lebih tahan terhadap salinitas. Di
Tamilnadu-India, beberapa padi lokal dapat bertahan selama tsunami, sedangkan
yang lainnya relatif lebih toleran untuk ditanam di tanah terkena tsunami.
Bagaimanapun, varietas-varietas padi yang beradaptasi di lahan pasang surut di
Indonesia mestinya mempunyai toleransi terhadap salinitas tanah, karena lahan
tersebut mempunyai masalah salinitas. International Rice Research Institute
(IRRI) baru-baru ini juga telah mendistribusikan benih-benih galur padi tahan
salinitas untuk diuji di beberapa negara, termasuk Indonesia. Dengan adanya
kultivar-kultivar ini,
langkah
selanjutnya adalah mengevaluasinya melalui uji-uji adaptasi dan plot-plot
demonstrasi di lahan yang terkena tsunami.
Melalui tulisan ini, diuraikan
tentang tanah terkena tsunami, khususnya di NAD, dan usaha perbaikan yang
paling memungkinkan. Diringkaskan bahwa penggunaan varietas tahan salin sangat
direkomendasikan untuk mengembalikan produktivitas padi pasca tsunami di NAD.
Salinitas dan tanah terkena tsunami
Salinitas adalah salah satu cekaman
abiotik yang sangat mempengaruhi produktivitas dan kualitas tanaman. Lahan
pasang-surut, terdapat disepanjang daerah pantai Sumatra, Kalimantan, Irian dan
pulau-pulau lainnya, terdiri dari berbagai ekosistem yang dipengaruhi oleh
pergerakan air pasang dan salinitas dengan tingkat yang bervariasi. Lahan
tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan kedalaman gambut, sifat-sifat tanah
dan tingkat pengaruh air pasang, dan disebut sebagai daerah “pasang-surut”,
dimana padi sawah merupakan komponen utama pola tanam. Pertumbuhan akar, batang
dan luas daun berkurang karena cekaman garam, yaitu; ketidak-seimbangan
metabolik yang disebabkan oleh keracunan ion, cekaman osmotik dan kekurangan
hara.
Masalah salinitas telah meluas
akhir-akhir ini. Data dari FAO memperlihatkan bahwa hampir 50% lahan irigasi
mengalami masalah salinitas. Setiap tahun beberapa ratus ribu hektar lahan
irigasi ditinggalkan karena mengalami salinisasi (Abrol 1986). Fenomena ini
juga terjadi secara luas di Indonesia, namun perkiraan luas yang tepatnya tidak
dapat dikemukakan karena kurangnya survai yang bersifat ilmiah. Di sepanjang
daerah produksi padi utama di Indonesia (yang disebut sebagai PANTURA), karena
lokasi lahan sawah irigasi di sepanjang pantai utara Jawa, masalah yang
berhubungan dengan salinitas pasti meningkat, dan dari beberapa diskusi dengan
para petani di daerah tersebut ternyata sebagian petani telah merubah usaha
padinya menjadi pembuatan garam dan perikanan, atau meninggalkan lahannya.
Tsunami yang terjadi pada 26 December
2004 merusak lahan pertanian di sepanjang pantai timur dan barat NAD. Kerusakan
yang disebabkan oleh tsunami bersifat struktural, fisika, kimia dan biologi,
sehubungan dengan produktivitas pertanian. Analisis top-soil (Januari 2005)
dari beberapa tanah terkena tsunami menunjukkan bahwa tanah telah berubah
menjadi salin-sodik, dengan EC sebesar 4.27-15.18 dS m-1 dan ESP sebesar 13-72%. Dari
kunjungan lapang Tim ACIAR pada bulan September 2006 terlihat bahwa salinitas
telah cukup berkurang. Namun, tidak hanya meningkatkan pencucian garam-garam
terlarut serta Na dan Mg dapat tukar yang diperlukan untuk mengurangi pengaruh
negatifnya,
masalah ketidak-seimbangan hara pasca tsunami mungkin lebih penting.
Karena kondisi tanah yang bergambut
dengan pH rendah, sering terjadi kekurangan unsur-unsur hara makro (N, P, K, Ca
dan Mg), sebagaimana juga masalah yang berhubungan dengan unsur mikro di lahan
pasang surut. Kondisi ini juga ditemui pada beberapa tanah terkena tsunami, dan
menjadi lebih gawat dengan adanya sedimen lumpur yang terakumulasi di atas
permukaan tanah, khususnya di NAD. Sebagian tanah mempunyai nilai pH yang
tinggi dengan Ca dan Mg dapat tukar yang tinggi, serta kandungan N, P dan K
yang rendah. Karena hal-hal ini, daerah yang berbeda memerlukan perhatian
khusus karena perbedaan dalam hal tekstur tanah dan pH, tingkat salinitas,
serta ketersediaan unsur-unsur hara makro dan mikro.
Pencucian, perbaikan lahan dan pemberian
mulsa, serta pemupukan merupakan komponen utama untuk rehabilitasi lahan pasca
tsunami. Namun, karena keterbatasan struktur sistem irigasi dan drainase serta
masalah sangat komplek yang berhubungan dengan keharaan di tanah terkena
tsunami, kedua cara perbaikan ini tidaklah mudah dijalankan dan memerlukan
waktu yang lama dan usaha-usaha yang terintegrasi. Pada kenyataannya, terutama
di Aceh Barat, restrukturisasi dan rehabilitasi tanaman pangan berjalan lambat.
Pembatas utama adalah perbaikan sistem irigasi dan drainase yang tidak mudah
dilaksanakan. Sedangkan peningkatan nutrisi tanah yang optimum sangat
memerlukan irigasi dan drainase yang baik.
Adaptasi tanaman padi di tanah
terkena tsunami
Menurut Brinkman and Singh (1982)
gejala keracunan garam pada tanaman padi berupa terhambatnya pertumbuhan,
berkurangnya anakan, ujung-ujung daun bewarna keputihan dan sering terlihat
bagian-bagian yang khlorosis pada daun, dan walaupun tanaman padi tergolong
tanaman yang tolerannya sedang, pada nilai EC sebesar 6-10 dS m-1 penurunan hasil gabah mencapai 50%.
Lebih jauh, Dobermann and Fairhurst (2000) menyimpulkan bahwa padi relatif
lebih toleran terhadap salinitas saat perkecambahan, tapi tanaman bisa
dipengaruhi saat pindah tanam, bibit masih muda, dan pembungaan. Pengaruh lebih
jauh terhadap tanaman padi adalah: 1) berkurangnya kecepatan perkecambahan; 2)
berkurangnya tinggi tanaman dan jumlah anakan; 3) pertumbuhan akar jelek; 4)
sterilitas biji meningkat; 5) kurangnya bobot 1000 gabah dan kandungan protein
total dalam biji karena penyerapan Na yang berlebihan; dan 6) berkurangnya
penambatan N2 secara
biologi dan lambatnya mineralisasi tanah. Menurut Mengel and Kirkby (1979),
pengaruh merusak dari salinitas sering juga tergantung pada stadia pertumbuhan
tanaman. Bagi kebanyakan jenis tanaman stadia bibit adalah sangat peka terhadap
salinitas.
Pada
umumnya tanaman serealia, hasil biji kurang dipengaruhi dibanding jerami. Tapi
pada padi sebaliknya yang terjadi; tanaman padi paling peka pada stadia
berbunga dan pembentukan biji.
Pada awal penanaman pasca tsunami di
NAD, kebanyakan tanaman tumbuh dan berproduksi jelek. Masalah-masalah
salinitas, penggenangan (waterlogging), dan nutrisi tanaman timbul.
Perubahan kesuburan tanah dan perubahan kimia, fisika dan biologi lainnya yang
berhubungan dengan salinitas di lahan terkena tsunami ditunjukkan oleh hasil
padi yang sangat rendah. Pertumbuhan tanaman padi yang tidak baik pasca tsunami
serta pembentukan dan pengisian biji yang rendah ditemui di pantai timur dan
barat NAD, dan terutama sekali di lahan sawah yang kerendahan. Petani-petani
padi di kabupaten Aceh Besar melaporkan kegagalan pertumbuhan padi dan panenan
dari pertanaman padi pertama dan keduanya. Pertanaman ketiga memperlihatkan
pertumbuhan vegetatif yang cukup baik tapi mempunyai malai dan gabah yang
sedikit dan kurang berkembang. Petani-petani di desa Rantau Panjang Timur dan
Cot Darat (berturut-turut di kecamatan Meureubo and Samatiga) di Aceh Barat
mengalami gagal panen pada pertanaman padi pertama karena adanya sedimen lumpur
sedalam 20-30 cm di tanah. Demikian juga pada pertanaman padi kedua pertumbuhan
vegetatif dan pembentukan malai terhambat.
Dirasakan pentingnya menanam varietas
tahan salin di lahan padi yang terkena tsunami, sehingga produktivitas lahan
bisa ditingkatkan. Berbagai usaha untuk mendapatkan kultivar padi tahan salin
telah dilakukan dan terdapat sejumlah besar kultivar untuk diuji dan
di-introduksi di tanah terkena tsunami di NAD.
Varietas padi tahan salin
Terdapat beberapa jenis tumbuhan yang
mampu hidup dengan baik pada habitat dengan tingkat salinitas tinggi, dan
disebut sebagai halofit. Tumbuhan tersebut teradaptasi terhadap
konsentrasi garam yang tinggi melalui beberapa mekanisme. Suatu gen ketahanan
salinitas telah berhasil di-introduksikan dari tumbuhan halofit, Atriplex
gmelini, ke varietas padi yang peka salinitas (varietas Kinuhikari dari
Jepang) membentuk padi transgenik yang lebih tahan salin (Masaru et al.
2002).
Dalam peristiwa tsunami yang melanda
banyak tempat di Asia termasuk daerah pantai Tamilnadu-India, terdapat banyak
jenis padi lokal dan tanaman lain yang diselamatkan oleh penduduk setempat dan
dapat bertahan dari keganasan gelombang pasang dan intrusi air laut. Beberapa
jenis padi lokal yang selamat dari tsunami adalah Kuzhivedichan, Kallurundai
and Kundali. Lebih jauh, beberapa varietas padi yang tahan salin dan cocok
untuk ditanam di lahan terkena tsunami di Tamilnadu adalah; Rassi,
Vikas,
Somasila, Swarna, Deepti dan Vedagiri (http://www.iari.res.in/ tsunami/salt.htm).
Pada tahun 1998, mengingat diperlukannya varietas padi yang tahan salin Khar
Land Research Station-India telah merilis varietas padi unggul tahan salin
Panvel 1, Panvel 2 and Panvel 3. Varietas Panvel 1 memberikan hasil gabah
tertinggi sebesar 4,4 t ha–1 (Zeng et al. 2003).
Masalah-masalah salinitas “belum
muncul” di Indonesia sebelum terjadinya tsunami tanggal 26 Desember 2004. Lebih
jauh, dengan terjadinya tsunami di beberapa daerah lain, masalah salinitas ini
menjadi bertambah penting. Pada kenyataannya, penelitian tentang salinitas
dalam produksi padi masih jarang. Walaupun tidak ada laporan tentang padi lokal
yang bertahan saat tsunami di Indonesia, pada berbagai daerah terutama di lahan
rawa pinggir pantai dimana tanah dipengaruhi oleh air laut (seperti daerah
pasang-surut), pertumbuhan dan hasil gabah beberapa varietas padi cukup baik,
walaupun tanah bersifat salin dan asam. Sesuai dengan Conway et al. (1984),
karena kondisi tanah yang bergambut dengan pH rendah, sering terjadi kekurangan
unsur-unsur hara makro (N, P, K, Ca dan Mg), sebagaimana juga masalah yang
berhubungan dengan unsur mikro. Dari beberapa uji adaptasi yang telah
dilakukan, Kapuas, Cisadane, Cisanggarung, IR42 dan IR64 menunjukkan adaptasi
yang baik di tanah bergambut.
Beberapa uji adaptasi menunjukkan
bahwa beberapa varietas padi adalah lebih mampu beradaptasi/toleran terhadap
salinitas dibandingkan yang lainnya. Pengujian di Aceh Besar – NAD pada lahan
terkena tsunami menunjukkan bahwa beberapa varietas dari lahan pasang-surut
toleran terhadap salinitas pada stadia vegetatif, yaitu Mendawak, Krueng Aceh,
Seilalan, Banyu Asin dan Cisadane, dan mereka juga respon terhadap drainase dan
pemupukan. Dari uji adaptasi yang dilakukan di Parigi - Pelabuhan Ratu (lahan
yang dipengaruhi air pasang di pantai selatan Jawa Barat) Kapuas, Lambur dan
suatu varietas lokal, berikut beberapa galur dari IRRI (International Rice
Research Institute) digolongkan toleran terhadap salinitas pada stadia
vegetatif. Namun evaluasi lebih jauh dari varietas-varietas ini dalam hal
toleransi terhadap salinitas memerlukan data yang lebih akurat.
Varietas-varietas padi yang dianggap
toleran terhadap kondisi-kondisi tanah yang berhubungan dengan gambut,
kemasaman dan salinitas di lahan pasang-surut adalah Banyuasin, Batanghari,
Dendang, Indragiri, Punggur, Martapura, Margasari, Siak Raya, Air Tenggulang,
Lambur dan Mendawak dapat digunakan di tanah terkena tsunami, namun adaptasinya
di daerah tertentu memerlukan pengujian dan evaluasi lebih jauh.
Bagi pengembangan tanaman padi di NAD
pasca tsunami, usaha-usaha perbaikan berikut dapat dilakukan: 1) gunakan
varietas
padi
tahan salinitas; 2) siapkan fasilitas drainase untuk mencuci kelebihan
garam-garam dan 3) pengelolaan nutrisi tanaman yang baik, termasuk hara mikro.
Penyediaan drainase memerlukan struktur sistem irigasi dan drainase yang baik,
dan pengelolaan nutrisi tanaman yang baik bukanlah sesuatu yang mudah. Kedua
cara ini tidak mudah dilaksanakan, karena itu keberhasilannya lama. Dalam waktu
dekat, penggunaan varietas padi yang tahan merupakan usaha yang sangat
direkomendasikan untuk mengembalikan produktivitas lahan dan tanaman di tanah
terkena tsunami.
Kesimpulan
Salinitas telah lama jadi masalah
bagi pertanian di Indonesia. Lahan pasang surut di sepanjang pantai , dimana
tanaman padi merupakan komponen utama bagi sistem usahatani, dipengaruhi oleh
salinitas. Setelah terjadinya gempa bumi dan tsunami di NAD dan Nias , serta di
bagian pantai selatan Jawa Barat masalah salinitas menjadi lebih serius. Sedimen
lumpur yang terbawa gelombang tsunami ke atas tanah di NAD menyebabkan masalah
menjadi lebih komplek.
Penggunaan varietas toleran adalah
suatu usaha yang lebih baik untuk mengembalikan dan meningkatkan produktivitas
lahan dan produksi padi di NAD. Berbagai kultivar padi yang relatif lebih
toleran terhadap salinitas tanah, dapat dievaluasi melalui uji adaptabilitas
dan plot-plot demonstrasi, untuk mempercepat rehabilitasi tanaman pangan di
NAD.
References
Abrol, I. P. 1986. Salt-Affected
Soils: Problems and Prospects in Developing Countries. In: Global
Aspects of Food Production. P: 283-305 M.S. Swaminathan and S.K. Sinha (Eds.).
Tycooly International Riverton, New Jersey-United States.
Brinkman, R and V.P Singh. 1982.
Rapid reclamation of brackish water fishponds in acid sulfate soils. ILRI.
Publ. Wageningen. Netherlands. p: 318-330.
Conway, G.R., I. Manwan and D.S.
McCauley. 1984. The Sustainability of Agricultural Intensification in
Indonesia. The Ford Foundation and The Agency for Agricultural Research and
Developm ent. Ministry of Agriculture, Jakarta.
Dobermann, A and T. Fairhurst. 2000.
Rice. Nutrient disorders & nutrient management. International Rice Research
Institute (IRRI). Potash & Phophate Institute/Potash & Phosphate
Institute of Canada. p: 139-144.
Masaru,
O., Y. Hayashi, A. Nakashima, A. Hamada, A. Tanaka, T. Nakamura, and T.
Hayakawa. 2002. Introduction of a Na+/H+ antiporter
gene from Atriplex gmelini confers salt tolerance to rice. FEBS Letters
532: 279-282. Elsevier Science B.V.
Mengel, K. and E.A. Kirkby. 1979.
Principles of Plant Nutrition. International Potash Institute. P.O. Box CH-3048
Worblaufen-Bern, Switzerland.
Zeng, L., S.M. Lesch, C.M. Grieve.
2003. Rice growth and yield respond to changes in water depth and salinity stress.
Agricultural Water Management 59: 67–75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar