Kamis, 26 April 2012

Adaptasi varietas padi pada tanah terkena tsunami


Hasil Sembiring and Anischan Gani
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi

Pesan Kunci
• Masalah salinitas meningkat di Indonesia, khusus di NAD pasca tsunami endapan lumpur tsunami menjadikan masalah makin komplek
• Usaha-usaha fisik dan kimia bukan hal yang mudah untuk meningkatkan produktivitas lahan pasca tsunami
• Dalam waktu dekat ini, penggunaan varietas toleran paling dianjurkan untuk mengembalikan produktivitas lahan dan tanaman pasca tsunami

Pendahuluan
Pada kenyataannya, salinitas tanah telah menjadi suatu masalah serius dalam produksi tanaman di Indonesia. Daerah produksi padi yang terletak di dekat pinggir laut seperti di pulau Jawa, Sulawesi Selatan dan yang lainnya menghadapi masalah salinitas; banyak petani merubah lahan padi sawahnya menjadi lahan untuk membuat garam dan perikanan, atau meninggalkannya. Sayangnya, kita tidak cukup awas terhadap masalah yang menakutkan ini. Gempa bumi yang diikuti oleh tsunami serta tsunami yang terjadi di tempat lainnya di Indonesia mengingatkan kita bahwa salinitas telah merupakan masalah nasional yang harus ditangani, terutama sekali untuk mempertahankan atau meningkatkan produksi padi di daerah-daerah yang bersangkutan.
Perubahan kultivar padi secara transgenik telah berhasil membentuk kultivar padi yang lebih tahan terhadap salinitas. Di Tamilnadu-India, beberapa padi lokal dapat bertahan selama tsunami, sedangkan yang lainnya relatif lebih toleran untuk ditanam di tanah terkena tsunami. Bagaimanapun, varietas-varietas padi yang beradaptasi di lahan pasang surut di Indonesia mestinya mempunyai toleransi terhadap salinitas tanah, karena lahan tersebut mempunyai masalah salinitas. International Rice Research Institute (IRRI) baru-baru ini juga telah mendistribusikan benih-benih galur padi tahan salinitas untuk diuji di beberapa negara, termasuk Indonesia. Dengan adanya kultivar-kultivar ini,
langkah selanjutnya adalah mengevaluasinya melalui uji-uji adaptasi dan plot-plot demonstrasi di lahan yang terkena tsunami.
Melalui tulisan ini, diuraikan tentang tanah terkena tsunami, khususnya di NAD, dan usaha perbaikan yang paling memungkinkan. Diringkaskan bahwa penggunaan varietas tahan salin sangat direkomendasikan untuk mengembalikan produktivitas padi pasca tsunami di NAD.
Salinitas dan tanah terkena tsunami
Salinitas adalah salah satu cekaman abiotik yang sangat mempengaruhi produktivitas dan kualitas tanaman. Lahan pasang-surut, terdapat disepanjang daerah pantai Sumatra, Kalimantan, Irian dan pulau-pulau lainnya, terdiri dari berbagai ekosistem yang dipengaruhi oleh pergerakan air pasang dan salinitas dengan tingkat yang bervariasi. Lahan tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan kedalaman gambut, sifat-sifat tanah dan tingkat pengaruh air pasang, dan disebut sebagai daerah “pasang-surut”, dimana padi sawah merupakan komponen utama pola tanam. Pertumbuhan akar, batang dan luas daun berkurang karena cekaman garam, yaitu; ketidak-seimbangan metabolik yang disebabkan oleh keracunan ion, cekaman osmotik dan kekurangan hara.
Masalah salinitas telah meluas akhir-akhir ini. Data dari FAO memperlihatkan bahwa hampir 50% lahan irigasi mengalami masalah salinitas. Setiap tahun beberapa ratus ribu hektar lahan irigasi ditinggalkan karena mengalami salinisasi (Abrol 1986). Fenomena ini juga terjadi secara luas di Indonesia, namun perkiraan luas yang tepatnya tidak dapat dikemukakan karena kurangnya survai yang bersifat ilmiah. Di sepanjang daerah produksi padi utama di Indonesia (yang disebut sebagai PANTURA), karena lokasi lahan sawah irigasi di sepanjang pantai utara Jawa, masalah yang berhubungan dengan salinitas pasti meningkat, dan dari beberapa diskusi dengan para petani di daerah tersebut ternyata sebagian petani telah merubah usaha padinya menjadi pembuatan garam dan perikanan, atau meninggalkan lahannya.
Tsunami yang terjadi pada 26 December 2004 merusak lahan pertanian di sepanjang pantai timur dan barat NAD. Kerusakan yang disebabkan oleh tsunami bersifat struktural, fisika, kimia dan biologi, sehubungan dengan produktivitas pertanian. Analisis top-soil (Januari 2005) dari beberapa tanah terkena tsunami menunjukkan bahwa tanah telah berubah menjadi salin-sodik, dengan EC sebesar 4.27-15.18 dS m-1 dan ESP sebesar 13-72%. Dari kunjungan lapang Tim ACIAR pada bulan September 2006 terlihat bahwa salinitas telah cukup berkurang. Namun, tidak hanya meningkatkan pencucian garam-garam terlarut serta Na dan Mg dapat tukar yang diperlukan untuk mengurangi pengaruh
negatifnya, masalah ketidak-seimbangan hara pasca tsunami mungkin lebih penting.
Karena kondisi tanah yang bergambut dengan pH rendah, sering terjadi kekurangan unsur-unsur hara makro (N, P, K, Ca dan Mg), sebagaimana juga masalah yang berhubungan dengan unsur mikro di lahan pasang surut. Kondisi ini juga ditemui pada beberapa tanah terkena tsunami, dan menjadi lebih gawat dengan adanya sedimen lumpur yang terakumulasi di atas permukaan tanah, khususnya di NAD. Sebagian tanah mempunyai nilai pH yang tinggi dengan Ca dan Mg dapat tukar yang tinggi, serta kandungan N, P dan K yang rendah. Karena hal-hal ini, daerah yang berbeda memerlukan perhatian khusus karena perbedaan dalam hal tekstur tanah dan pH, tingkat salinitas, serta ketersediaan unsur-unsur hara makro dan mikro.
Pencucian, perbaikan lahan dan pemberian mulsa, serta pemupukan merupakan komponen utama untuk rehabilitasi lahan pasca tsunami. Namun, karena keterbatasan struktur sistem irigasi dan drainase serta masalah sangat komplek yang berhubungan dengan keharaan di tanah terkena tsunami, kedua cara perbaikan ini tidaklah mudah dijalankan dan memerlukan waktu yang lama dan usaha-usaha yang terintegrasi. Pada kenyataannya, terutama di Aceh Barat, restrukturisasi dan rehabilitasi tanaman pangan berjalan lambat. Pembatas utama adalah perbaikan sistem irigasi dan drainase yang tidak mudah dilaksanakan. Sedangkan peningkatan nutrisi tanah yang optimum sangat memerlukan irigasi dan drainase yang baik.
Adaptasi tanaman padi di tanah terkena tsunami
Menurut Brinkman and Singh (1982) gejala keracunan garam pada tanaman padi berupa terhambatnya pertumbuhan, berkurangnya anakan, ujung-ujung daun bewarna keputihan dan sering terlihat bagian-bagian yang khlorosis pada daun, dan walaupun tanaman padi tergolong tanaman yang tolerannya sedang, pada nilai EC sebesar 6-10 dS m-1 penurunan hasil gabah mencapai 50%. Lebih jauh, Dobermann and Fairhurst (2000) menyimpulkan bahwa padi relatif lebih toleran terhadap salinitas saat perkecambahan, tapi tanaman bisa dipengaruhi saat pindah tanam, bibit masih muda, dan pembungaan. Pengaruh lebih jauh terhadap tanaman padi adalah: 1) berkurangnya kecepatan perkecambahan; 2) berkurangnya tinggi tanaman dan jumlah anakan; 3) pertumbuhan akar jelek; 4) sterilitas biji meningkat; 5) kurangnya bobot 1000 gabah dan kandungan protein total dalam biji karena penyerapan Na yang berlebihan; dan 6) berkurangnya penambatan N2 secara biologi dan lambatnya mineralisasi tanah. Menurut Mengel and Kirkby (1979), pengaruh merusak dari salinitas sering juga tergantung pada stadia pertumbuhan tanaman. Bagi kebanyakan jenis tanaman stadia bibit adalah sangat peka terhadap salinitas.
Pada umumnya tanaman serealia, hasil biji kurang dipengaruhi dibanding jerami. Tapi pada padi sebaliknya yang terjadi; tanaman padi paling peka pada stadia berbunga dan pembentukan biji.
Pada awal penanaman pasca tsunami di NAD, kebanyakan tanaman tumbuh dan berproduksi jelek. Masalah-masalah salinitas, penggenangan (waterlogging), dan nutrisi tanaman timbul. Perubahan kesuburan tanah dan perubahan kimia, fisika dan biologi lainnya yang berhubungan dengan salinitas di lahan terkena tsunami ditunjukkan oleh hasil padi yang sangat rendah. Pertumbuhan tanaman padi yang tidak baik pasca tsunami serta pembentukan dan pengisian biji yang rendah ditemui di pantai timur dan barat NAD, dan terutama sekali di lahan sawah yang kerendahan. Petani-petani padi di kabupaten Aceh Besar melaporkan kegagalan pertumbuhan padi dan panenan dari pertanaman padi pertama dan keduanya. Pertanaman ketiga memperlihatkan pertumbuhan vegetatif yang cukup baik tapi mempunyai malai dan gabah yang sedikit dan kurang berkembang. Petani-petani di desa Rantau Panjang Timur dan Cot Darat (berturut-turut di kecamatan Meureubo and Samatiga) di Aceh Barat mengalami gagal panen pada pertanaman padi pertama karena adanya sedimen lumpur sedalam 20-30 cm di tanah. Demikian juga pada pertanaman padi kedua pertumbuhan vegetatif dan pembentukan malai terhambat.
Dirasakan pentingnya menanam varietas tahan salin di lahan padi yang terkena tsunami, sehingga produktivitas lahan bisa ditingkatkan. Berbagai usaha untuk mendapatkan kultivar padi tahan salin telah dilakukan dan terdapat sejumlah besar kultivar untuk diuji dan di-introduksi di tanah terkena tsunami di NAD.
Varietas padi tahan salin
Terdapat beberapa jenis tumbuhan yang mampu hidup dengan baik pada habitat dengan tingkat salinitas tinggi, dan disebut sebagai halofit. Tumbuhan tersebut teradaptasi terhadap konsentrasi garam yang tinggi melalui beberapa mekanisme. Suatu gen ketahanan salinitas telah berhasil di-introduksikan dari tumbuhan halofit, Atriplex gmelini, ke varietas padi yang peka salinitas (varietas Kinuhikari dari Jepang) membentuk padi transgenik yang lebih tahan salin (Masaru et al. 2002).
Dalam peristiwa tsunami yang melanda banyak tempat di Asia termasuk daerah pantai Tamilnadu-India, terdapat banyak jenis padi lokal dan tanaman lain yang diselamatkan oleh penduduk setempat dan dapat bertahan dari keganasan gelombang pasang dan intrusi air laut. Beberapa jenis padi lokal yang selamat dari tsunami adalah Kuzhivedichan, Kallurundai and Kundali. Lebih jauh, beberapa varietas padi yang tahan salin dan cocok untuk ditanam di lahan terkena tsunami di Tamilnadu adalah; Rassi,
Vikas, Somasila, Swarna, Deepti dan Vedagiri (http://www.iari.res.in/ tsunami/salt.htm). Pada tahun 1998, mengingat diperlukannya varietas padi yang tahan salin Khar Land Research Station-India telah merilis varietas padi unggul tahan salin Panvel 1, Panvel 2 and Panvel 3. Varietas Panvel 1 memberikan hasil gabah tertinggi sebesar 4,4 t ha–1 (Zeng et al. 2003).
Masalah-masalah salinitas “belum muncul” di Indonesia sebelum terjadinya tsunami tanggal 26 Desember 2004. Lebih jauh, dengan terjadinya tsunami di beberapa daerah lain, masalah salinitas ini menjadi bertambah penting. Pada kenyataannya, penelitian tentang salinitas dalam produksi padi masih jarang. Walaupun tidak ada laporan tentang padi lokal yang bertahan saat tsunami di Indonesia, pada berbagai daerah terutama di lahan rawa pinggir pantai dimana tanah dipengaruhi oleh air laut (seperti daerah pasang-surut), pertumbuhan dan hasil gabah beberapa varietas padi cukup baik, walaupun tanah bersifat salin dan asam. Sesuai dengan Conway et al. (1984), karena kondisi tanah yang bergambut dengan pH rendah, sering terjadi kekurangan unsur-unsur hara makro (N, P, K, Ca dan Mg), sebagaimana juga masalah yang berhubungan dengan unsur mikro. Dari beberapa uji adaptasi yang telah dilakukan, Kapuas, Cisadane, Cisanggarung, IR42 dan IR64 menunjukkan adaptasi yang baik di tanah bergambut.
Beberapa uji adaptasi menunjukkan bahwa beberapa varietas padi adalah lebih mampu beradaptasi/toleran terhadap salinitas dibandingkan yang lainnya. Pengujian di Aceh Besar – NAD pada lahan terkena tsunami menunjukkan bahwa beberapa varietas dari lahan pasang-surut toleran terhadap salinitas pada stadia vegetatif, yaitu Mendawak, Krueng Aceh, Seilalan, Banyu Asin dan Cisadane, dan mereka juga respon terhadap drainase dan pemupukan. Dari uji adaptasi yang dilakukan di Parigi - Pelabuhan Ratu (lahan yang dipengaruhi air pasang di pantai selatan Jawa Barat) Kapuas, Lambur dan suatu varietas lokal, berikut beberapa galur dari IRRI (International Rice Research Institute) digolongkan toleran terhadap salinitas pada stadia vegetatif. Namun evaluasi lebih jauh dari varietas-varietas ini dalam hal toleransi terhadap salinitas memerlukan data yang lebih akurat.
Varietas-varietas padi yang dianggap toleran terhadap kondisi-kondisi tanah yang berhubungan dengan gambut, kemasaman dan salinitas di lahan pasang-surut adalah Banyuasin, Batanghari, Dendang, Indragiri, Punggur, Martapura, Margasari, Siak Raya, Air Tenggulang, Lambur dan Mendawak dapat digunakan di tanah terkena tsunami, namun adaptasinya di daerah tertentu memerlukan pengujian dan evaluasi lebih jauh.
Bagi pengembangan tanaman padi di NAD pasca tsunami, usaha-usaha perbaikan berikut dapat dilakukan: 1) gunakan varietas
padi tahan salinitas; 2) siapkan fasilitas drainase untuk mencuci kelebihan garam-garam dan 3) pengelolaan nutrisi tanaman yang baik, termasuk hara mikro. Penyediaan drainase memerlukan struktur sistem irigasi dan drainase yang baik, dan pengelolaan nutrisi tanaman yang baik bukanlah sesuatu yang mudah. Kedua cara ini tidak mudah dilaksanakan, karena itu keberhasilannya lama. Dalam waktu dekat, penggunaan varietas padi yang tahan merupakan usaha yang sangat direkomendasikan untuk mengembalikan produktivitas lahan dan tanaman di tanah terkena tsunami.
Kesimpulan
Salinitas telah lama jadi masalah bagi pertanian di Indonesia. Lahan pasang surut di sepanjang pantai , dimana tanaman padi merupakan komponen utama bagi sistem usahatani, dipengaruhi oleh salinitas. Setelah terjadinya gempa bumi dan tsunami di NAD dan Nias , serta di bagian pantai selatan Jawa Barat masalah salinitas menjadi lebih serius. Sedimen lumpur yang terbawa gelombang tsunami ke atas tanah di NAD menyebabkan masalah menjadi lebih komplek.
Penggunaan varietas toleran adalah suatu usaha yang lebih baik untuk mengembalikan dan meningkatkan produktivitas lahan dan produksi padi di NAD. Berbagai kultivar padi yang relatif lebih toleran terhadap salinitas tanah, dapat dievaluasi melalui uji adaptabilitas dan plot-plot demonstrasi, untuk mempercepat rehabilitasi tanaman pangan di NAD.
References
Abrol, I. P. 1986. Salt-Affected Soils: Problems and Prospects in Developing Countries. In: Global Aspects of Food Production. P: 283-305 M.S. Swaminathan and S.K. Sinha (Eds.). Tycooly International Riverton, New Jersey-United States.
Brinkman, R and V.P Singh. 1982. Rapid reclamation of brackish water fishponds in acid sulfate soils. ILRI. Publ. Wageningen. Netherlands. p: 318-330.
Conway, G.R., I. Manwan and D.S. McCauley. 1984. The Sustainability of Agricultural Intensification in Indonesia. The Ford Foundation and The Agency for Agricultural Research and Developm ent. Ministry of Agriculture, Jakarta.
Dobermann, A and T. Fairhurst. 2000. Rice. Nutrient disorders & nutrient management. International Rice Research Institute (IRRI). Potash & Phophate Institute/Potash & Phosphate Institute of Canada. p: 139-144.
Masaru, O., Y. Hayashi, A. Nakashima, A. Hamada, A. Tanaka, T. Nakamura, and T. Hayakawa. 2002. Introduction of a Na+/H+ antiporter gene from Atriplex gmelini confers salt tolerance to rice. FEBS Letters 532: 279-282. Elsevier Science B.V.
Mengel, K. and E.A. Kirkby. 1979. Principles of Plant Nutrition. International Potash Institute. P.O. Box CH-3048 Worblaufen-Bern, Switzerland.
Zeng, L., S.M. Lesch, C.M. Grieve. 2003. Rice growth and yield respond to changes in water depth and salinity stress. Agricultural Water Management 59: 67–75. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar