Kamis, 26 April 2012

PROSES KEPUTUSAN INOVASI



PROSES KEPUTUSAN INOVASI

Keputusan inovasi adalah proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya dan mengukuhkannya. Keputusan inovasi merupakan suatu tipe pengambilan keputusan yang khas, keputusan ini mempuyai ciri-ciri tersendiri yang tak diketemukan dalam situasi pembuatan keputusan yang lainnya.
Ada beberapa tipe keputusan inovasi, yaitu :
1)            Keputusan otoritas, yaitu keputusan yang dipaksakan kepada seseorang oleh individu yang berada dalam posisi atasan.
2)            Keputusan individual, yaitu keputusan di mana individu yang bersangkutan ambil peranan dalam pembuatannya.

Keputusan individual ini ada dua macam :
1)            keputusan opsional yakni keputusan yang dibuat oleh seseorang, terlepas dari keputusan-keputusan yang dibuat oleh anggota sistem.
2)            Keputusan kolektif yakni keputusan yang dibuat oleh individu-individu yang ada dalam sistem sosial melalui konsensus.

Sebagai tambahan dari ketiga tipe keputusan di atas, ada keputusan yang di sebut keputusan kontingen, yakni pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi setelah ada keputusan inovasi yang mendahuluinya.

PROSES KEPUTUSAN INOVASI OPSIONAL

Pandangan tradisional mengenai proses keputusan inovasi, yang disebut “proses adopsi”, di kemukakan komisi ahli-ahli sosiologi pedesaan pada tahun 1955. Proses itu terdiri dari 5 tahap :
1)            Tahap Kesadaran, di mana seseorang mengetahui adanya ide-ide baru tetapi kekurangan informasi mengetahui hal itu.
2)            Tahap Menaruh Minat, di mana seseorang mulai menaruh minat terhadap inovasi dan mencari informasi lebih banyak mengenai inovasi tersebut.
3)            Tahap Penilaian, di mana seseorang mengadakan penilaian terhadap ide baru yang dihubungkan dengan situasi dirinya sendiri saat ini dan masa mendatang dan menentukan mencobanya atau tidak.
4)            Tahap Pencobaan, di mana seseorang menerapkan ide-ide baru itu dalam skala kecil untuk menentukan kegunaannya, apakah sesuai dengan situasi dirinya.
5)            Tahap Penerimaan, (adopsi) di mana seseorang menggunakan ide baru itu secara tetap dalam skala yang luas.

Konseptualisasi proses adopsi ini telah dipakai dan di uji oleh para peneliti diffusi. Tetapi akhir-akhir ini dikemukakan kritik terhadap model ini bahwa prosesnya terlalu disederhanakan. Di antara banyak kekurangannya ialah :
1)            Model itu menyatakan  bahwa proses tersebut berakhir dengan keputusan untuk mengadopsi, sedangkan kenyataanya mungkin saja hasil akhirnya adalah penolakan. Karena itu diperlukan istilah yang lebih luas dari “proses adopsi” sehingga dapat mencakup keputusan untuk menerima atau menolak.
2)            Lima tahap itu tidak selalu terjadi pada hal-hal tertentu dan mungkin beberapa diantaranya dilewatkan, misalnya tahap pencobaan. Penilaian biasanya terjadi pada keseluruhan proses, tidak hanya pada salah satu tahap saja.
3)            Proses itu jarang berakhir dengan adopsi. Biasanya proses itu masih berlanjut dengan pencarian informasi untuk memperkuat atau mengukuhkan keputusan yang telah dibuatnya. Atau mungkin seseorang berubah haluan dari menerima menjadi menolak dan juga sebaliknya.

            Tipe-tipe Pengetahuan

            Ada tiga tipe pengetahuan dalam tahap pengenalan inovasi, yaitu kesadaran/pengetahuan mengenai adanya inovasi, pengetahuan “teknis” dan pengetahuan “prinsip”. Tipe yang pertama yakni pengetahuan kesadaran akan adanya inovasi yang telah dibicarakan di atas. Tipe yang kedua, meliputi informasi yang diperlukan mengenai cara pemakaian atau penggunaan suatu informasi. Tipe pengetahuan yang ketiga adalah berkenaan dengan prinsip-prinsip berfungsinya suatu informasi.

            Konsistensi Antara Pengenalan dan Tingkah Laku

            Sikap terhadap inovasi sering kali merupakan jembatan yang mengentarai tahap pengenalan dengan tahap keputusan. Seseorang tidak akan berusaha mengenal ide baru jika informasi tidak relevant baginya, dan jika demikian halnya maka orang tersebut tidak akan mencari informasi lebih lanjut sehingga dapat tercapai persuasi.

Tahap Persuasi
            Pada tahap persuasi, seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi. Jika aktifitas mental pada tahap pengenalan terutama adalah berlangsungnya fungsi kognitif, aktifitas mental pada tahap persuasi yang utama adalah afektif (perasaan).

Tahap Keputusan
            Pada tahap ini, seseorang terpilih dalam kegiatan yang mengarah pada pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi. Sebetulnya seluruh proses keputusan inovasi merupakan serangkaian pemilihan pada setiap tahapnya.


Tahap Konfirmasi
            Bukti-bukti penelitian empiris yang diperoleh oleh para peneliti menunjukkan bahwa proses keputusan inovasi itu tidak berakhir setelah orang mengambil keputusan untuk menerima atau menolak inovasi.

Dissonansi Tindakan

Sebagian perubahan tingkah laku manusia terjadi karena adanya ketidakselarasan atau ketidakseimbangan internal, suatu kenyataan psikologis yang tak menyenangkan sehingga seseorang mengurangi atau menghilangkannya. Jika seseorang merasakan adanya ketidakselarasan (dissonansi) ini, biasanya ia terdorong untuk mengurangi keadaan ini dengan jalan merubah pengetahuaan, sikap atau tindakan-tindakannya.

Diskontinuansi

Diskontinuansi adalaah keputusan seeorang untuk menghentikan penggunaan inovasi setelah sebelumnya mengadopsi. Ada dua macam diskontinuansi :
1)            keputusan untuk menghentikan penggunaan suatu inovasi karena ia menerima ide baru yang lebih baik menurut pandangannya.
2)            keputusan untuk mogok sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap hasil inovasi.

Tipe-tipe sikap

Ada dua tindakan sikap, yaitu sikap khusus terhadap inovasi dan sikap umum terhadap perubahan. Sikap khusus terhadap inovasi adalah berkenaan atau tidaknya seseorang, percaya atau tidaknya seseorang terhadap kegunaan suatu inovasi bagi dirinya sendiri. Sikap khusus itu menjebatani antara suatu inovasi dengan inovasi lainnya.



Konsistensi sikap dan tingkah laku

Kita harus ingat bahwa terbentuknya sikap tidak otomatis menyebabkan seseorang mengambil keputusan untuk mengadopsi untuk menolak. Namun demikian ada kecenderungan orang untuk lebih menyelaraskan sikap dan tingkah laku. Jika terdapat perbedaan antara sikap seseorang terhadap inovasi dengan keputusan yang di buatnya, maka terjadilah dissonansi inovasi.    

KEPUTUSAN INOVASI KOLEKTIF

          Keputusan inovasi kolektif adalah keputusan untuk menerima atau menolak inovasi yang dibuat oleh individu-individu yang ada dalam sistem sosial melalui konsensus. Proses ini melibatkan lebih banyak individu. Pengambilan keputusan inovasi kolektif ini prosesnya lebih panjang atau banyak memakan waktu.
            Tahap-tahap dalam proses keputusan inovasi kolektif
·         Stimulasi, merupakan minat ke arah kebutuhan akan ide-ide baru.
·         Inisiasi, yaitu ide-ide baru ke dalam sistem sosial.
·         Legitimasi, yaitu ide-ide baru yang ditimbulkan oleh pemegang kekuasaan atau legitimator.

Partisipasi Dalam Keputusan Kolektif

            Partisipasi adalah  tingkat keterlibatan anggota sistem sosial dalam proses pengambilan keputusan. Tingkat partisipasi tersebut berhubungan positif dengan kepuasan mereka terhadap keputusan inovasi kolektif. ini berarti semakin tinggi partisipasi anggota dalam proses pengambilan keputusan, semakin besar pula tingkat kepuasan mereka terhadap keputusan.
            Anggota sistem sosial lebih puas dengan keputusan kolektif jika mereka merasa terlibat dalam pembuatan keputusan itu karena ;
·         dengan ikut serta dalam proses pengambilan keputusan, anggota itu mengetahui bahwa sebagian besar anggota dalam sistem juga ingin melaksanakan keputusan itu. Jika seseorang anggota tahu bagaimana dukungan kelompok terhadap keputusan, dia mungkin menjadi lebih puas.
·         keputusan untuk menerima atau menolak lebih sesuai dengan kebutuhan anggota sistem jika mereka ikut ambil bagian dalam pembuatan keputusan tersebut.
·         partisipasi yang luas memungkinkan para pemuka pendapat di dalam sistem dapat menduga apa yang diinginkan oleh sebagian besar anggota terhadap keputusan yang akan di ambil. dengan demikian posisi para pemuka pendapat lebih mantap dan para anggota terdorong untuk mentaati keputusan dengan rasa puas.

Penerimaan Anggota Terhadap Keputusan Inovasi Kolektif

Penerimaan anggota terhadap keputusan inovasi kolektif berhubungan positif dengan tingkat partisipasi mereka, semakin banyak mereka berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan kolektif semakin besar penerimaan mereka terhadap keputusan.
            Penerimaan anggota terhadap keputusan inovasi kolektif juga berhubungan positif dengan kohesi anggota dengan sistem sosial. Kohesi adalah tingkat keterikatan anggota dengan sistem sosial menurut persepsinya sendiri. Orang yang merasa sangat terikat atau punya ikatan kuat dengan kelompok akan merasa lebih terdorong untuk merubah kepercayaan atau tingkah lakunya jika kelompok menginginkan.

KEPUTUSAN INOVASI OTORITAS
DAN
PERUBAHAN ORGANISASIONAL

            Keputusan otoritas adalah keputusan yang dihasilkan oleh organisasi formal misalnya birokrasi pemerintahan, pabrik, sekolah dan sebagainya. Proses ini menyangkut penyebaran suatu inovasi ke dalam suatu organisasi formal yang menyebabkan terjadinya perubahan pada organisasi tersebut.
            Keputusan inovasi otoritas adalah tekanan terhdap seseorang oleh orang lain yang berada dalam posisi atasan. Seseorang (unit adopsi) diperintah oleh seseorang yang lebih tinggi kekuasaannya untuk menerima atau menolak inovasi. Di sini seseorang tidak lagi bebas menentukan pilihannya dalam proses keputusan inovasi. Jadi struktur kekuasaan sistem sosial berpengaruh terhadap seseorang agar ia mengikuti keputusan yang telah diambil oleh atasan.
            Ada dua macam unit yang terlibat dalam proses keputusan otoritas, yaitu :
1)            unit adopsi, yakni seseorang, kelompok atau unit yang mengadopsi inovasi.
2)            unit pengambil keputusan, yakni seseorang, kelompok atau unit yang posisi kekuasaannya lebih tinngi dari unit adopsi dan yang membuat keputusan akhir apakah unit adopsi harus menerima atau menolak inovasi.

Perbedaan antara keputusan otoritas dengan keputusan opsional dan kolektif yaitu terletak pada pengaruh sistem sosial terhadap anggotanya sebagai individu penerima inovasi. Dalam keputusan opsional hanya sedikit pengaruh sistem sosial etrhadap keputusan seseorang. Dalam keputusan otoritas pengaruh itu sangat besar, melalui struktur kekuasaan.
Ciri-ciri berikut ini membedakan keputusan otoritas dengan bentuk keputusan lainnya :
1)            Seseorang tidak bebas menentukan pilihannya dalam menerima atau menolak inovasi.
2)            Pembuatan keputusan dan pengadopsiannya dilakukan oleh orang atau unit yang berbeda.
3)            Unit pengambil keputusan menduduki posisi kekuasaan lebih tinggi dalam sistem sosial daripada unit adopsi.
4)            Karena hubungan kierarki antara unit pengambil keputusan dengan unit adopsi, unit pengambil keputusan dapat memaksa unit adopsi untuk meenyesuaikan diri dengan keputusan.
5)            Keputusan inovasi otoritas lebih sering terjadi dalam organisasi formal.

Tahap-Tahap Dalam Proses Keputusan Otoritas

Tahap Pengenalan
            Ini merupakan tahap paling penting dalam proses keputusan otoritas. Pada tahap ini pengambil keputusan mengetahui adanya inovasi. Pengenalan terhadap suatu  inovasi itu mungkin karena dikomunikasikan oleh bawahan kepada atasan. Bawahan kemudian menunggu persetujuan resmi dari unit pengambil keputusan. Unit pengambil keputusan juga dapat memperoleh pengetahuan mengenai inovasi dari sumber di luar orgnisasi seperti konsultan yang memainkan peranan yang menentukan dalam membangkitkan kebutuhan untuk berubah dalam sistem formal.

Tahap Persuasi
            Tahap persuasi ditandai dengan pencarian informasi lebih banyak lagi termasuk penilaian terhadap biaya, kelayakan, kemungkinan pelaksanaan, dan sebagainya yang hakikatnya pada tahap ini organisasi sedang mengadakan suatu percobaan hipotetis.
            Jika dapat menaksir lebih tepat konsekuensi-konsekuensi inovasi, maka akan dapat lebih baik dalam memutuskan manakah inovasi yang akan diambil dan mana yang akan dibuang.

Tahap Keputusan
            Setelah unit mengambil keputusan mencari tahu lebih jauh mengenai inovasi itu dan telah menilainya berdasarkan kemamfaatan yang tampak, kelayakannya dan konsekuensi- konsekuensi yang diharapkan, pada tahap ini unit menetapkan untuk menerima atau menolak inovasi itu.
Tahap Komunikasi
            Tahap komunikasi merupakan suatu tahap yang menentukan, karena pengadopsian atau penolakan suatu inovasi tidak dapat dilaksanakan sebelum ada perintah kepada unit adopsi untuk melaksanakannya.

Tahap Tindakan
            Yang dimaksud tindakan dalam hal ini yaitu tahap dimana penggunaan inovasi  mulai dilaksanakan oleh unit adopsi juga merupakan tahap akhir dalam keputusan inovasi otoritas. Pada tahap ini akan tampak jelas konsekuensi yang berupa tingkah laku baik itu menyenangkan maupun mengecewakan.
            Seiring dengan berjalannya waktu, ada kecenderungan seseorang untuk merubah sikap mereka (suka atau tidak suka) yang tidak cocok dengan tindakan yang dituntut oleh organisasi atau melanjutkan pengadopsian atau penolakan inovasi tetapi menyelewengkan atau merubah inovasi itu sedemikian rupa sehingga cocok dengan sikap mereka. Kecenderungan yang terakhir ini seseorang tetap mempertahankan sikapnya semula.

            Pendekatan Dalam Perubahan Organisasional

            Konsekuensi dari keputusan inovasi otoritas adalah terjadinya perubahan-perubahan pada organisasi formal yang bersangkutan, sehingga jika kita ingin mengadakan perubahan organisasional maka hal itu dapat dilakukan dengan mengusahakan masuknya inovasi ke dalam sistem formal itu.
            Terdapat dua pendekatan yang berbeda dalam rangka mencapai perubahan organisasional, yaitu :
1)            Pendekatan otoritatif, di mana keputusan inovasi dibuat oleh penguasa secara sepihak.
2)            Pendekatan partisipatif, di mana terdapat interaksi dua arah antara pihak eksekutif yang memprakarsai perubahan dengan orang-orang yang terkena perubahan. Kekuasaan untuk membuat keputusan dialokasi kepada pihak yang terlibat dalam perubahan organisasional sesuai dengan level dalam struktur organisasi, yang berarti disini ada pendelegasian wewenang, tidak terpusat pada pimpinan tertinggi.






Adaptasi varietas padi pada tanah terkena tsunami


Hasil Sembiring and Anischan Gani
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi

Pesan Kunci
• Masalah salinitas meningkat di Indonesia, khusus di NAD pasca tsunami endapan lumpur tsunami menjadikan masalah makin komplek
• Usaha-usaha fisik dan kimia bukan hal yang mudah untuk meningkatkan produktivitas lahan pasca tsunami
• Dalam waktu dekat ini, penggunaan varietas toleran paling dianjurkan untuk mengembalikan produktivitas lahan dan tanaman pasca tsunami

Pendahuluan
Pada kenyataannya, salinitas tanah telah menjadi suatu masalah serius dalam produksi tanaman di Indonesia. Daerah produksi padi yang terletak di dekat pinggir laut seperti di pulau Jawa, Sulawesi Selatan dan yang lainnya menghadapi masalah salinitas; banyak petani merubah lahan padi sawahnya menjadi lahan untuk membuat garam dan perikanan, atau meninggalkannya. Sayangnya, kita tidak cukup awas terhadap masalah yang menakutkan ini. Gempa bumi yang diikuti oleh tsunami serta tsunami yang terjadi di tempat lainnya di Indonesia mengingatkan kita bahwa salinitas telah merupakan masalah nasional yang harus ditangani, terutama sekali untuk mempertahankan atau meningkatkan produksi padi di daerah-daerah yang bersangkutan.
Perubahan kultivar padi secara transgenik telah berhasil membentuk kultivar padi yang lebih tahan terhadap salinitas. Di Tamilnadu-India, beberapa padi lokal dapat bertahan selama tsunami, sedangkan yang lainnya relatif lebih toleran untuk ditanam di tanah terkena tsunami. Bagaimanapun, varietas-varietas padi yang beradaptasi di lahan pasang surut di Indonesia mestinya mempunyai toleransi terhadap salinitas tanah, karena lahan tersebut mempunyai masalah salinitas. International Rice Research Institute (IRRI) baru-baru ini juga telah mendistribusikan benih-benih galur padi tahan salinitas untuk diuji di beberapa negara, termasuk Indonesia. Dengan adanya kultivar-kultivar ini,
langkah selanjutnya adalah mengevaluasinya melalui uji-uji adaptasi dan plot-plot demonstrasi di lahan yang terkena tsunami.
Melalui tulisan ini, diuraikan tentang tanah terkena tsunami, khususnya di NAD, dan usaha perbaikan yang paling memungkinkan. Diringkaskan bahwa penggunaan varietas tahan salin sangat direkomendasikan untuk mengembalikan produktivitas padi pasca tsunami di NAD.
Salinitas dan tanah terkena tsunami
Salinitas adalah salah satu cekaman abiotik yang sangat mempengaruhi produktivitas dan kualitas tanaman. Lahan pasang-surut, terdapat disepanjang daerah pantai Sumatra, Kalimantan, Irian dan pulau-pulau lainnya, terdiri dari berbagai ekosistem yang dipengaruhi oleh pergerakan air pasang dan salinitas dengan tingkat yang bervariasi. Lahan tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan kedalaman gambut, sifat-sifat tanah dan tingkat pengaruh air pasang, dan disebut sebagai daerah “pasang-surut”, dimana padi sawah merupakan komponen utama pola tanam. Pertumbuhan akar, batang dan luas daun berkurang karena cekaman garam, yaitu; ketidak-seimbangan metabolik yang disebabkan oleh keracunan ion, cekaman osmotik dan kekurangan hara.
Masalah salinitas telah meluas akhir-akhir ini. Data dari FAO memperlihatkan bahwa hampir 50% lahan irigasi mengalami masalah salinitas. Setiap tahun beberapa ratus ribu hektar lahan irigasi ditinggalkan karena mengalami salinisasi (Abrol 1986). Fenomena ini juga terjadi secara luas di Indonesia, namun perkiraan luas yang tepatnya tidak dapat dikemukakan karena kurangnya survai yang bersifat ilmiah. Di sepanjang daerah produksi padi utama di Indonesia (yang disebut sebagai PANTURA), karena lokasi lahan sawah irigasi di sepanjang pantai utara Jawa, masalah yang berhubungan dengan salinitas pasti meningkat, dan dari beberapa diskusi dengan para petani di daerah tersebut ternyata sebagian petani telah merubah usaha padinya menjadi pembuatan garam dan perikanan, atau meninggalkan lahannya.
Tsunami yang terjadi pada 26 December 2004 merusak lahan pertanian di sepanjang pantai timur dan barat NAD. Kerusakan yang disebabkan oleh tsunami bersifat struktural, fisika, kimia dan biologi, sehubungan dengan produktivitas pertanian. Analisis top-soil (Januari 2005) dari beberapa tanah terkena tsunami menunjukkan bahwa tanah telah berubah menjadi salin-sodik, dengan EC sebesar 4.27-15.18 dS m-1 dan ESP sebesar 13-72%. Dari kunjungan lapang Tim ACIAR pada bulan September 2006 terlihat bahwa salinitas telah cukup berkurang. Namun, tidak hanya meningkatkan pencucian garam-garam terlarut serta Na dan Mg dapat tukar yang diperlukan untuk mengurangi pengaruh
negatifnya, masalah ketidak-seimbangan hara pasca tsunami mungkin lebih penting.
Karena kondisi tanah yang bergambut dengan pH rendah, sering terjadi kekurangan unsur-unsur hara makro (N, P, K, Ca dan Mg), sebagaimana juga masalah yang berhubungan dengan unsur mikro di lahan pasang surut. Kondisi ini juga ditemui pada beberapa tanah terkena tsunami, dan menjadi lebih gawat dengan adanya sedimen lumpur yang terakumulasi di atas permukaan tanah, khususnya di NAD. Sebagian tanah mempunyai nilai pH yang tinggi dengan Ca dan Mg dapat tukar yang tinggi, serta kandungan N, P dan K yang rendah. Karena hal-hal ini, daerah yang berbeda memerlukan perhatian khusus karena perbedaan dalam hal tekstur tanah dan pH, tingkat salinitas, serta ketersediaan unsur-unsur hara makro dan mikro.
Pencucian, perbaikan lahan dan pemberian mulsa, serta pemupukan merupakan komponen utama untuk rehabilitasi lahan pasca tsunami. Namun, karena keterbatasan struktur sistem irigasi dan drainase serta masalah sangat komplek yang berhubungan dengan keharaan di tanah terkena tsunami, kedua cara perbaikan ini tidaklah mudah dijalankan dan memerlukan waktu yang lama dan usaha-usaha yang terintegrasi. Pada kenyataannya, terutama di Aceh Barat, restrukturisasi dan rehabilitasi tanaman pangan berjalan lambat. Pembatas utama adalah perbaikan sistem irigasi dan drainase yang tidak mudah dilaksanakan. Sedangkan peningkatan nutrisi tanah yang optimum sangat memerlukan irigasi dan drainase yang baik.
Adaptasi tanaman padi di tanah terkena tsunami
Menurut Brinkman and Singh (1982) gejala keracunan garam pada tanaman padi berupa terhambatnya pertumbuhan, berkurangnya anakan, ujung-ujung daun bewarna keputihan dan sering terlihat bagian-bagian yang khlorosis pada daun, dan walaupun tanaman padi tergolong tanaman yang tolerannya sedang, pada nilai EC sebesar 6-10 dS m-1 penurunan hasil gabah mencapai 50%. Lebih jauh, Dobermann and Fairhurst (2000) menyimpulkan bahwa padi relatif lebih toleran terhadap salinitas saat perkecambahan, tapi tanaman bisa dipengaruhi saat pindah tanam, bibit masih muda, dan pembungaan. Pengaruh lebih jauh terhadap tanaman padi adalah: 1) berkurangnya kecepatan perkecambahan; 2) berkurangnya tinggi tanaman dan jumlah anakan; 3) pertumbuhan akar jelek; 4) sterilitas biji meningkat; 5) kurangnya bobot 1000 gabah dan kandungan protein total dalam biji karena penyerapan Na yang berlebihan; dan 6) berkurangnya penambatan N2 secara biologi dan lambatnya mineralisasi tanah. Menurut Mengel and Kirkby (1979), pengaruh merusak dari salinitas sering juga tergantung pada stadia pertumbuhan tanaman. Bagi kebanyakan jenis tanaman stadia bibit adalah sangat peka terhadap salinitas.
Pada umumnya tanaman serealia, hasil biji kurang dipengaruhi dibanding jerami. Tapi pada padi sebaliknya yang terjadi; tanaman padi paling peka pada stadia berbunga dan pembentukan biji.
Pada awal penanaman pasca tsunami di NAD, kebanyakan tanaman tumbuh dan berproduksi jelek. Masalah-masalah salinitas, penggenangan (waterlogging), dan nutrisi tanaman timbul. Perubahan kesuburan tanah dan perubahan kimia, fisika dan biologi lainnya yang berhubungan dengan salinitas di lahan terkena tsunami ditunjukkan oleh hasil padi yang sangat rendah. Pertumbuhan tanaman padi yang tidak baik pasca tsunami serta pembentukan dan pengisian biji yang rendah ditemui di pantai timur dan barat NAD, dan terutama sekali di lahan sawah yang kerendahan. Petani-petani padi di kabupaten Aceh Besar melaporkan kegagalan pertumbuhan padi dan panenan dari pertanaman padi pertama dan keduanya. Pertanaman ketiga memperlihatkan pertumbuhan vegetatif yang cukup baik tapi mempunyai malai dan gabah yang sedikit dan kurang berkembang. Petani-petani di desa Rantau Panjang Timur dan Cot Darat (berturut-turut di kecamatan Meureubo and Samatiga) di Aceh Barat mengalami gagal panen pada pertanaman padi pertama karena adanya sedimen lumpur sedalam 20-30 cm di tanah. Demikian juga pada pertanaman padi kedua pertumbuhan vegetatif dan pembentukan malai terhambat.
Dirasakan pentingnya menanam varietas tahan salin di lahan padi yang terkena tsunami, sehingga produktivitas lahan bisa ditingkatkan. Berbagai usaha untuk mendapatkan kultivar padi tahan salin telah dilakukan dan terdapat sejumlah besar kultivar untuk diuji dan di-introduksi di tanah terkena tsunami di NAD.
Varietas padi tahan salin
Terdapat beberapa jenis tumbuhan yang mampu hidup dengan baik pada habitat dengan tingkat salinitas tinggi, dan disebut sebagai halofit. Tumbuhan tersebut teradaptasi terhadap konsentrasi garam yang tinggi melalui beberapa mekanisme. Suatu gen ketahanan salinitas telah berhasil di-introduksikan dari tumbuhan halofit, Atriplex gmelini, ke varietas padi yang peka salinitas (varietas Kinuhikari dari Jepang) membentuk padi transgenik yang lebih tahan salin (Masaru et al. 2002).
Dalam peristiwa tsunami yang melanda banyak tempat di Asia termasuk daerah pantai Tamilnadu-India, terdapat banyak jenis padi lokal dan tanaman lain yang diselamatkan oleh penduduk setempat dan dapat bertahan dari keganasan gelombang pasang dan intrusi air laut. Beberapa jenis padi lokal yang selamat dari tsunami adalah Kuzhivedichan, Kallurundai and Kundali. Lebih jauh, beberapa varietas padi yang tahan salin dan cocok untuk ditanam di lahan terkena tsunami di Tamilnadu adalah; Rassi,
Vikas, Somasila, Swarna, Deepti dan Vedagiri (http://www.iari.res.in/ tsunami/salt.htm). Pada tahun 1998, mengingat diperlukannya varietas padi yang tahan salin Khar Land Research Station-India telah merilis varietas padi unggul tahan salin Panvel 1, Panvel 2 and Panvel 3. Varietas Panvel 1 memberikan hasil gabah tertinggi sebesar 4,4 t ha–1 (Zeng et al. 2003).
Masalah-masalah salinitas “belum muncul” di Indonesia sebelum terjadinya tsunami tanggal 26 Desember 2004. Lebih jauh, dengan terjadinya tsunami di beberapa daerah lain, masalah salinitas ini menjadi bertambah penting. Pada kenyataannya, penelitian tentang salinitas dalam produksi padi masih jarang. Walaupun tidak ada laporan tentang padi lokal yang bertahan saat tsunami di Indonesia, pada berbagai daerah terutama di lahan rawa pinggir pantai dimana tanah dipengaruhi oleh air laut (seperti daerah pasang-surut), pertumbuhan dan hasil gabah beberapa varietas padi cukup baik, walaupun tanah bersifat salin dan asam. Sesuai dengan Conway et al. (1984), karena kondisi tanah yang bergambut dengan pH rendah, sering terjadi kekurangan unsur-unsur hara makro (N, P, K, Ca dan Mg), sebagaimana juga masalah yang berhubungan dengan unsur mikro. Dari beberapa uji adaptasi yang telah dilakukan, Kapuas, Cisadane, Cisanggarung, IR42 dan IR64 menunjukkan adaptasi yang baik di tanah bergambut.
Beberapa uji adaptasi menunjukkan bahwa beberapa varietas padi adalah lebih mampu beradaptasi/toleran terhadap salinitas dibandingkan yang lainnya. Pengujian di Aceh Besar – NAD pada lahan terkena tsunami menunjukkan bahwa beberapa varietas dari lahan pasang-surut toleran terhadap salinitas pada stadia vegetatif, yaitu Mendawak, Krueng Aceh, Seilalan, Banyu Asin dan Cisadane, dan mereka juga respon terhadap drainase dan pemupukan. Dari uji adaptasi yang dilakukan di Parigi - Pelabuhan Ratu (lahan yang dipengaruhi air pasang di pantai selatan Jawa Barat) Kapuas, Lambur dan suatu varietas lokal, berikut beberapa galur dari IRRI (International Rice Research Institute) digolongkan toleran terhadap salinitas pada stadia vegetatif. Namun evaluasi lebih jauh dari varietas-varietas ini dalam hal toleransi terhadap salinitas memerlukan data yang lebih akurat.
Varietas-varietas padi yang dianggap toleran terhadap kondisi-kondisi tanah yang berhubungan dengan gambut, kemasaman dan salinitas di lahan pasang-surut adalah Banyuasin, Batanghari, Dendang, Indragiri, Punggur, Martapura, Margasari, Siak Raya, Air Tenggulang, Lambur dan Mendawak dapat digunakan di tanah terkena tsunami, namun adaptasinya di daerah tertentu memerlukan pengujian dan evaluasi lebih jauh.
Bagi pengembangan tanaman padi di NAD pasca tsunami, usaha-usaha perbaikan berikut dapat dilakukan: 1) gunakan varietas
padi tahan salinitas; 2) siapkan fasilitas drainase untuk mencuci kelebihan garam-garam dan 3) pengelolaan nutrisi tanaman yang baik, termasuk hara mikro. Penyediaan drainase memerlukan struktur sistem irigasi dan drainase yang baik, dan pengelolaan nutrisi tanaman yang baik bukanlah sesuatu yang mudah. Kedua cara ini tidak mudah dilaksanakan, karena itu keberhasilannya lama. Dalam waktu dekat, penggunaan varietas padi yang tahan merupakan usaha yang sangat direkomendasikan untuk mengembalikan produktivitas lahan dan tanaman di tanah terkena tsunami.
Kesimpulan
Salinitas telah lama jadi masalah bagi pertanian di Indonesia. Lahan pasang surut di sepanjang pantai , dimana tanaman padi merupakan komponen utama bagi sistem usahatani, dipengaruhi oleh salinitas. Setelah terjadinya gempa bumi dan tsunami di NAD dan Nias , serta di bagian pantai selatan Jawa Barat masalah salinitas menjadi lebih serius. Sedimen lumpur yang terbawa gelombang tsunami ke atas tanah di NAD menyebabkan masalah menjadi lebih komplek.
Penggunaan varietas toleran adalah suatu usaha yang lebih baik untuk mengembalikan dan meningkatkan produktivitas lahan dan produksi padi di NAD. Berbagai kultivar padi yang relatif lebih toleran terhadap salinitas tanah, dapat dievaluasi melalui uji adaptabilitas dan plot-plot demonstrasi, untuk mempercepat rehabilitasi tanaman pangan di NAD.
References
Abrol, I. P. 1986. Salt-Affected Soils: Problems and Prospects in Developing Countries. In: Global Aspects of Food Production. P: 283-305 M.S. Swaminathan and S.K. Sinha (Eds.). Tycooly International Riverton, New Jersey-United States.
Brinkman, R and V.P Singh. 1982. Rapid reclamation of brackish water fishponds in acid sulfate soils. ILRI. Publ. Wageningen. Netherlands. p: 318-330.
Conway, G.R., I. Manwan and D.S. McCauley. 1984. The Sustainability of Agricultural Intensification in Indonesia. The Ford Foundation and The Agency for Agricultural Research and Developm ent. Ministry of Agriculture, Jakarta.
Dobermann, A and T. Fairhurst. 2000. Rice. Nutrient disorders & nutrient management. International Rice Research Institute (IRRI). Potash & Phophate Institute/Potash & Phosphate Institute of Canada. p: 139-144.
Masaru, O., Y. Hayashi, A. Nakashima, A. Hamada, A. Tanaka, T. Nakamura, and T. Hayakawa. 2002. Introduction of a Na+/H+ antiporter gene from Atriplex gmelini confers salt tolerance to rice. FEBS Letters 532: 279-282. Elsevier Science B.V.
Mengel, K. and E.A. Kirkby. 1979. Principles of Plant Nutrition. International Potash Institute. P.O. Box CH-3048 Worblaufen-Bern, Switzerland.
Zeng, L., S.M. Lesch, C.M. Grieve. 2003. Rice growth and yield respond to changes in water depth and salinity stress. Agricultural Water Management 59: 67–75. 

Hama dan Penyakit Pada Tanaman


1.   Ordo Orthoptera

A.    Belalang kayu ( Valanga nigricornis ).
      Famili : Acrididae.
     Gejala Serangan: Menggigit daun yg diawali dari pinggiran helaian daun. Hingga lama-lama kelamaan          sampai ketulan daun. Ciri khas serangannya berbentuk gerigi.
      Inang terserang hama : Daun, bunga, ranting tanaman.

B.  Belalang Setan (Aularces miliaris)
      Famili : Lacustidae
   Gejala Serangan : Menggigit punggiran daun sehingga tampak bolong-bolong dan akhirnya tinggal  kerangka daun kemudian gugur.
      Tanaman Inang : Pisang, dadap, tebu.

 C.  (Xaxava nubila)
       Famili : Tettigonida
       Gejala Serangan : Sobekan pada daun-daun yang lama-kelamaan hanya tinggal tulang daun.           
       Tanaman Inang :  Kelapa
              
2.   Ordo Coleoptera

A.  Kumbang gajah (Orchidophilus atterimus).
      Famili : Curculionidae.
     Gejala serangan : Kumbang bertelur pada daun atau lubang batang tanaman. Kerusakan terjadi karena larvanya menggerek daun dan memakan jaringan di bagian dalam batang sehingga mengakibatkan aliran air dan hara dari akar terputus serta daun-daun menjadi kuning dan layu. Kerusakan pada daun menyebabkan daun berlubang- lubang. Larva juga menggerek batang umbi, pucuk dan batang untuk membentuk kepompong, sedangkan kumbang dewasa memakan epdermis/permukaan daun muda, jaringan/tangkai bunga dan pucuk/kuntum sehingga dapat mengakibatkan kematian bagian tanaman yang dirusak. Serangan pada titik tumbuh dapat mematikan tanaman.  Pada pembibitan Phalaenopsis sp. dapat terserang berat hama ini. Seangan kumbang gajah dapat terjadi sepanjang tahun, tetapi paling banyak terjadi pada musim hujan,     terutama pada awal musim hujan tiba.
    Tanaman Inang : Tanaman anggrek.
                               
BKumbang hijau (Anomala viridis)
      Famili : Scarabaeidae
   Gejala serangan : Larva berkelompok pada bahan organik. Larva merusak perakaran, banyak       menimbulkan kerugian pada tanaman sayuran dan tanaman hias. Kumbang atau  imago memakan daun.
  Tanaman inang : Gerbera, mawar, albizia, Acacia decurrens, dadap, tembakau, singkong,            Synedrella, padi gogo, jagung, tebu, agave, Crotalaria, strowberi, kentang, kopi, teh, karet, lada dan jeruk.
                   
C. Kumbang (Apogonia destructor)
     Famili : Scarabaeidae
   Gejala serangan : Gejala pada daun berupa bekas gigitan yang tidak teratur pada tepi atau tengah            daun. Pada bunga yang telah mekar maupun masih kuncup, gejala kerusakan berupa petal yang terpotong rata atau tidak teratur. Gejala kerusakan dikenali dari adanya cairan berwarna coklat kehitaman pada bunga dan hijau kehitaman pada daun.
 Tanaman inang : Kacang-kacangan, termasuk turi (Sesbania sesban dan S. Grandiflora),             klampis (Acacia tomentosa), asem, tebu, rumput-rumputan, jagung, gerbera.
                  
3. Ordo Hemiptera
A.  Kutu Loncat Jeruk (Diaphorina citri Kuw.)
      Famili  :  Psyllidae
   Gejala Serangan : Kerusakan karena aktivitas kutu loncat adalah daun menjadi berkerut-kerut,     menggulung atau kering, dan pertumbuhan tanaman menjadi terhambat serta tidak sempurna. Selain daun yang masih muda, kutu ini dengan styletnya menusuk dan menghisap cairan sel pada tangkai daun, tunas-tunas muda atau jaringan lainnya yang masih muda. Gejala lainnya adalah hasil sekresi atau kotorannya berupa benang yang berwarna putih dan bentuknya menyerupai spriral. Apabila serangannya berat, bagian tanaman yang terserang menjadi layu, kering dan kemudian mati. Apabila hama ini menyerang satu tanaman dengan merata, maka  pertumbuhan bunga menjadi terhambat dan produksi akan berkurang.
      Serangan ini selain menjadi hama juga dapat menularkan organisme menyerupai bakteri (BLO) yakni patogen dari Citrus Vein Phloem Degeneration (VCPD).
     Tanaman Inang :  Jeruk, kemuning, tapak dara.
                 



B.  Kepik Pengisap (Helopeltis spp)
      Famili : Miridae
Gejala serangan : Hama ini menyerang pucuk muda, tunas, bunga, buah, biji, dan  daun.
Kepik ini mengisap cairan tumbuhan hingga meninggalkan  bekas coklat di tempak bekas gigitan. Serangan yang berat pada tunas dapat menyebabkan pucuk layu dan mati. Bunga yang diserang berubah menjadi hitam dan mati.          
     Tanaman Inang : Jambu mete, teh, kakao, alpukat, mangga, dadap, ubi jalar.

              
C. Kutu Daun
     Kutu Daun Coklat (Toxoptera citricidus Kirk)
     Kutu Daun Hitam (T. aurantii Boy)
     Kutu Daun Hijau (Myzus persicae Sulz. Dan Aphis gossypii Glov).
     Famili  :  Aphidoidea
     Gejala Serangan : 
Kerusakan karena hama ini tampak pada bagian-bagian tanaman yang masih muda, misalnya tunas-tunas dan daun-daun serta tangkai daun yang masih muda. Hal ini terjadi karena serangga menusukkan stiletnya, kemudian mengisap cairan sel tanaman, sehingga hanya jaringan tanaman yang lunak yang paling disukainya. Daun berkerut dan keriting serta pertumbuhannya terhambat. Pada bagian tanaman di sekitar aktivitas kutu daun tersebut terlihat adanya kapang hitam, yaitu Capnodium  sp. yang tumbuh pada sekresi atau kotoran kutu daun berupa embun madu. Kadang-kadang di sekitar koloni tersebut terdapat semut yang juga menyukai sekresi yang dihasilkan serangga ini.
     Tanaman inang :
              kakao, kina, kopi teh. tembakau, kentang, dan cabai.


4.  Ordo Homoptera
A. Kutu daun (Aphis gossypii)
     Famili : Aphidoidea
     Gejala serangan
              Kerusakan tampak pada bagian tanaman yang masih muda, misalnya t        unas-tunas dan daun-daun serta tangkai daun yang muda. Hal ini terjadi   karena serangga menusukkan stiletnya, kemudian mengisap sel cairan t  anaman sehingga daun berkerut dan kering serta pertumbuhannya terhambat.
     Tanaman inang
              Disamping itu juga menyerang: cabai, kopi, jeruk coklat, berbagai    jenis tanaman hias seperti gerbera, Hibiscus sp., begonia, krisan, dahlia dan   berbagai jenis gulma berdaun lebar.

B.  Kutu putih (Pseudococcus sp.)
      Famili : Pseudococcidae
      Gejala serangan : Serangga dewasa dan nimfa mengisap bagian tanaman, sehingga terjadi perubahan bentuk yang tidak normal. Pada tanaman yang terserang tampak dipenuhi oleh kutu-kutu putih seperti kapas.
      Tanaman inang :
                  Salak, kelapa, jati, kopi, bambu, asam, dadap, durian, jeruk, lamtoro, berbagai tanaman hias seperti gerbera, hibiscus, drasena, helikonia, palm, sikas, alpinia.

C.  Kutu tempurung (Aspidiotus sp.)
      Famili : Diaspididae
  Gejala serangan : Serangga ini mengisap cairan daun di bagian permukaan bawah sehingga  meninggalkan bercak-bercak dan menyebabkan daun berwarna kuning kecoklatan. Kutu mengisap cairan daun, sehingga makin lama cairan daun habis dan jaringan di sekelilingnya terjadi nekrosis. Pada serangan berat seluruh daun menjadi kering dan kemudian rontok.
      Tanaman inang : Di daerah Bogor kutu tempurung ditemukan pada anggrek Renanthera sp. dan Vanda sp., kelapa, kelapa sawit, pisang, mangga, alpukat, jambu biji, kakao, karet,       keluwih, jahe dan teh.

5.   Ordo Lepidoptera
A. Ulat Peliang Daun (Phyllocnistis citrella Stainton)
     Famili     : Phyllocnistidae/Gracillariidae

     Gejala Serangan :

Setelah telur menetas, ulat masuk ke dalam jaringan tanaman, yaitu membuat liang di bawah jaringan epidermis tanaman, terutama daun yang masih muda. Walaupun demikian, ulat kadang-kadang meliang di bagian tanaman yang lain, seperti ranting, tangkai daun dan buah yang masih muda. Pada ulat yang sedang aktif, yaitu fase larva, larva terlihat berwarna kuning sedang meliang, sambil memakan jaringan tanaman.
Apabila fase larva telah cukup, ulat menuju ke tepi daun, kemudian mempersiapkan diri untuk memasuki fase pupa atau kepompong. Caranya adalah dengan menggulung atau melipat tepi daun, sehingga pupanya terlindungi dari gangguan luar.
Gejala lainnya adalah pada serangan yang berat dan berlanjut, daun tampak mengkerut, menggulung atau keriting. Sedangkan gejala yang khas adalah berupa bekas serangga tersebut aktif makan, warnanya keperakan, coklat atau hitam, tergantung lamanya bekas ulat-ulat tersebut pada daun tersebut, berupa garis atau jalur-jalur yang berkelok-kelok, sesuai dengan tempat yang dilalui ketika makan. Kerusakan yang disebabkan oleh hama ini dapat mencapai 67,7%, dan juga dapat menularkan bakteri Xanthomonas citri (Chase) Dowson, yaitu kanker pada tanaman jeruk.
Tanaman inang :
Anggur, kemuning (Murraya sp), Rutaceae.


B. Ulat Kipat atau Ulat Kenari Cricula trifenestrata
     Famili : Saturniidae
   Gejala Serangan : Serangan awal (ulat kecil) dimulai pada bagian bawah daun muda dan serangan lanjutan (ulat besar) akan menyerang daun tua sehingga dapat membuat tanaman jadi gundul (hanya sisa tulang daun).
     Tanaman Inang : Daun mete, kenari, alpukat, mangga, kakao dan kayu manis.
              
C. Puru Buah (Prays spp.)
     Famili : Yponomeutidae
     Gejala Serangan :
              Prays endocarpa menyerang buah-buah muda dan meninggalkan bekas        berupa puru-puru atau tonjolan-tonjolan pada buah dengan lubang bergaris     tengah 0,3-0,5 cm pada bekas serangan. Seiring dengan perkembangan buah,         pada puru-puru buah tersebut terdapat lubang yang menyebabkan kualitas        buah menjadi rendah. Bunga yang terserang parah menjadi rontok atau gugur.
     Tanaman Inang
              jeruk manis, jeruk besar, Grapefruit, dan jeruk nipis.

Referensi : 

Pustaka Pertanian USK

Novizan, Ir. dan Endah Joessi, Ir. "Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman". Jakarta. 2003. Agromedia Pustaka